TRIBUNWOW.COM - Setya Novanto, politisi kawakan asal Partai Golkar, terus menjadi sorotan.
Mulai dari berbagai kasus hukum yang menyeret namanya, hingga kelihaiannya dalam berpolitik.
Berkiprah di Senayan sejak 1999, kini perjalanan karier politik Novanto terancam kandas.
Kasus dugaan korupsi proyek e-KTP menghentikan sepak terjang Setya Novanto di panggung politik.
Mengundurkan diri dari posisinya sebagai Ketua DPR, Novanto juga harus rela kehilangan jabatan prestise sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Dari Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setya Novanto melayangkan surat kepada Fraksi Partai Golkar pada 8 Desember 2017.
Melalui surat itu, ia menyampaikan pengunduran dirinya dari posisi sebagai Ketua DPR.
Keputusan yang diambil setelah desakan mundur datang dari segala penjuru.
Sejak ditetapkan kembali sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP oleh KPK pada 10 November 2017, Novanto bertahan tak mau mundur dari parlemen.
Alasannya, ia akan melakukan upaya hukum yaitu gugatan praperadilan.
Keputusan soal posisinya, baik di DPR maupun di Partai Golkar, akan diambil setelah adanya putusan praperadilan.
Kali ini, “nasib baik” tak berpihak kepada Novanto.
Proses praperadilan terhenti karena persidangan kasus e-KTP yang menjeratnya telah digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Di sinilah awal dari kemungkinan berakhirnya kisah Novanto di panggung politik…
Setya Novanto dan kasus hukum
Kasus e-KTP bukan kali pertama yang menyeret nama Novanto di dalamnya.
Nama Setya Novanto pernah disebut dalam sejumlah kasus.
Beberapa kali ia pernah menjalani pemeriksaan di KPK sebagai saksi sejumlah kasus.
1. Kasus cessie Bank Bali
Setya Novanto diduga pernah menjadi tersangka dalam skandal cessie Bank Bali senilai Rp 546 miliar.
Pada 2001, Novanto disebut pertama kali oleh jaksa dalam sidang terkait kasus hak tagih piutang Bank Bali.
Kasus itu menyebabkan kerugian negara nyaris Rp 1 triliun dari total tagihan sebesar Rp 3 triliun.
2. Kasus penyelundupan beras
Nama Novanto juga disebut-sebut terlibat dalam penyelundupan beras impor dari Vietnam sebanyak 60.000 ton.
Novanto hanya pernah diperiksa sekali oleh Kejaksaan Agung, yakni pada 27 Juli 2006.
3. Kasus PON Riau
Pada kasus suap PON Riau, KPK pernah mendalami keterlibatan Novanto dengan menggeledah ruang kerjanya di Lantai 12 Gedung DPR.
Penggeledahan itu merupakan pengembangan kasus yang menjerat mantan Gubernur Riau Rusli Zainal, yang juga politikus Partai Golkar.
Setya Novanto membantah keterlibatannya.
4. Kasus suap di Mahkamah Konstitusi
Pada kasus yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi, M Akil Mochtar, Novanto pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang terkait sengketa pemilihan kepala daerah yang bergulir di MK.
Nama Novanto sempat disebut dalam rekaman pembicaraan antara Akil Mochtar dan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jatim sekaligus Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Jawa, Zainuddin Amali.
Pesan BBM tersebut berisi permintaan uang Rp 10 miliar dari Akil kepada Zainuddin.
Saat dikonfirmasi mengenai pesan BBM ini, Novanto membantah adanya permintaan uang dari Akil. Dia mengaku telah melarang Zainuddin mengurus masalah Pilkada Jatim.
5. Kasus saham Freeport
Pada 2015, Kejaksaan Agung membuka penyelidikan kasus dugaan pemufakatan jahat dalam pertemuan antara Maroef Sjamsoeddin yang menjabat Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Setya Novanto dan pengusaha Muhammad Riza Chalid.
Berdasarkan rekaman percakapan yang direkam Maroef, dalam pertemuan itu diduga ada permintaan saham Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.
Namun, pada April 2016, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyatakan bahwa kasus tersebut diendapkan karena belum ada perkembangan yang berarti.
Hingga setahun berlalu, belum ada kepastian apakah penyelidikan kasus tersebut akan berlanjut atau tidak.
6. Kasus korupsi E-KTP
Setya Novanto didakwa menyalahgunakan kewenangan selaku anggota DPR dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Perbuatan Novanto itu menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
Menurut jaksa, Setya Novanto secara langsung atau tidak langsung mengintervensi proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP tahun 2011-2013.
Penyalahgunaan kewenangan itu dilakukan Novanto untuk menguntungkan diri sendiri, serta memperkaya orang lain dan korporasi.
Menurut jaksa, Novanto diperkaya 7,3 juta dollar Amerika Serikat.
Selain itu, ia menerima jam tangan merek Richard Mille seharga 135.000 dollar AS.
7. Pembuatan SIM dan KTP pada masa Orde Baru
Setya Novanto tercatat pernah terlibat dalam proyek pemerintah untuk pembuatan SIM dan KTP pada masa Orde Baru. Berdasarkan pemberitaan Harian Kompas pada 2 Oktober 1992 dengan judul "Biaya SIM Model Baru Rp 52.500" tertera bahwa Polri menggandeng pihak swasta dalam hal investasi peralatan komputer untuk pengadaan SIM jenis baru.
Ada total 19 perusahaan swasta yang berinvestasi senilai Rp 90 miliar, termasuk PT Citra Permatasakti Persada (CPP) yang dipimpin Novanto.
Dia ditunjuk Siti Hardijanti Rukmana atau yang dikenal sebagai Mbak Tutut untuk memimpin PT CPP sejak tahun 1991.
Saat itu, skema kerja sama Polri dengan pihak swasta adalah dengan sewa pinjam peralatan komputerisasi selama lima tahun, di mana setelah waktu tersebut terpenuhi, semua peralatan itu menjadi milik Polri.
Untuk setiap pembuatan SIM, swasta yang menjadi mitra kerja Polri dapat Rp 48.500 dan Rp 4.000 sisanya masuk ke kas negara.
Proyek pembuatan SIM model baru ini menjadi sorotan karena diduga ada tindak pidana korupsi.
Mengutip pemberitaan Harian Kompas, 16 Maret 2005, dengan judul "Dipertanyakan, Penanganan Dugaan Korupsi Dana SIM", terungkap ada selisih jumlah produksi SIM yang dirilis Ditlantas Polri selaku pelaksana proyek dengan data PT CPP untuk periode yang sama.
8. Disebut dalam kasus suap pejabat pajak
Nama Novanto muncul dalam persidangan untuk terdakwa mantan Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Handang Soekarno.
Dalam persidangan terungkap bahwa Handang ingin memperkenalkan atasannya, yakni Direktur Penegakan Hukum Ditjen Pajak, Dadang Suwarna, kepada Ketua DPR RI Setya Novanto.
Upaya perkenalan itu terkait pencalonan Dadang sebagai salah satu anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sedang bergulir di DPR. (*)
Berita ini telah diterbitkan oleh Kompas.com dengan judul "Setya Novanto, Kasus Hukum, dan Kisahnya di Panggung Politik"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar